Laman

KHADIJAH

Sang Mujahiddah

Oleh: Is Ikhsan Hataul*

Gonggongan anjing samar terdengar sahut menyahut saat jamaah sholat shubuh meninggalkan mesjid. Langkah kaki serasa beradu cepat dengan rintik hujan yang membasahi sebagian kota Makassar. Khadijah akhirnya terbangun dari tidurnya yang lelap oleh suara wecker yang sejak tadi telah berteriak membangunkannya. Setelah menyelesaikan sholat shubuh, Khadijah kembali berkutat dengan buku bedah karangan wim de jong yang sejak sebulan lalu telah dibacanya. Menjelang pukul 07.00, semua aktifitasnya telah dihentikan dan bersiap-siap memenuhi kewajibannya sebagai seorang co-ass di bagian bedah.

Senin ini bukanlah seperti hari-hari yang telah terlewati selama 3 bulan di rumah sakit, tetapi merupakan hari yang sangat menentukan bagi Khadijah. Dengan langkah yang pasti, Khadijah menuju ke bagian bedah untuk diuji ilmunya yang telah dipelajari selama beberapa bulan terakhir. Suasana masih cukup sepi setelah berada disana. Sesekali tangannya membasuh keringat di wajahnya yang muncul akibat ketegangan yang memuncak. Saat yang dinanti telah tiba, penguji yang ditunggu-tunggu akhirnya datang. HP miliknya segera digetarkan dan Khadijah pun masuk ke ruangan untuk melakukan fase akhir dari masa studinya. Pertanyaan-pertanyaan yang diberikan dijawab dengan jelas olehnya. Beberapa kali terasa getaran pada sakunya namun dihiraukannya.

Dua jam lebih akhirnya terlewati dengan sukses. Khadijah keluar dari ruangan dengan perasaan yang sangat gembira. Ucapan selamat diberikan teman-temannya yang sejak tadi menunggu diluar. Kebahagiaan itu berlangsung cukup lama hingga akhirnya dia teringat HPnya yang dari tadi bergetar.

18 panggilan tak terjawab dan 1 pesan terlihat ketika HPnya dilihat. Khadijah pun lemas, berkeringat dan kemudian mengucurkan air matanya. Kakak Sulaiman tewas tertembak di bagian dada. Itulah isi SMS yang dikirimkan oleh adiknya Fatimah. Khadijah terduduk dan terbayang wajah adiknya Sulaiman yang masih semester 4 di salah satu perguruan tinggi. Dengan langkah lunglai, Khadijah pun segera pulang ke tempat kostnya dan segera memesan tiket tak jauh dari situ. Aku harus kuat, batinnya. Khadijah pun berangkat menuju kampung halamannya yang sementara bergejolak diantar oleh beberapa temannya.

Asap, desingan peluru dan teriakan Allah Akbar menyambut kedatangan Khadijah di bandara Pattimura Ambon. Beberapa personil TNI dengan senjata lengkap mengawal Khadijah dan beberapa orang yang searah dengannya ke rumahnya di desa Liang kecamatan salahutu. Sesampainya, Khadijah hanya mampu meneteskan air mata melihat kepulangan rombongan pengantar jenazah adiknya. Sedih namun juga bangga mendengar cerita tentang keberanian adiknya dalam menghadapi musuh dan membela Agamanya.

Seminggu kemudian, Khadijah yang kini hanya berdua dengan adiknya Fatimah memantapkan niatnya untuk ikut berjihad. Niat ini akhirnya terwujud beberapa hari berikutnya. Kamis itu, rombongan jihad dari desa Liang berangkat menggunakan beberapa kendaraan. Ikut di dalamnya Khadijah dan adiknya Fatimah. Dengan menggunakan pakaian putih-putih, wajahnya tampak sangat bercahaya. Sesampainya di tujuan, sekitar pukul 20.30 Khadijah bersama adiknya langsung melakukan sholat isya berjamaah dengan rombongan lainnya. Merekapun tetap berada di dalam mesjid membaca Al Qur’an, berdzikir dan melakukan sholat-sholat sunat sambil menunggu waktu maju ke medan jihad.

Waktu hampir shubuh ketika bunyi ketukan tiang listrik menggema diiringi letusan senjata meraung di telinganya. Dengan semangat yang tinggi, rombongan itupun segera bergerak menuju medan jihad. Teriakan Allahu Akbar menggema mengimbangi suara letusan senjata. Sebagai seorang yang bertugas menjadi tim medis di rombongan, Khadijah ikut maju ke medan tempur untuk menolong mereka yang membutuhkannya. Teriakan dan letusan membuat suasana dingin shubuh itu tidak terasa. Satu persatu korban berjatuhan dalam membela agama Allah. Keringat memenuhi tubuh Khadijah yang berlari menuju para mujahid yang terluka dan segera menolong mereka. Tak jauh dari tempatnya berdiri, Nampak seorang mujahida yang tertembak. Khadijah segera berlari sambil menunduk menuju ke tempat tersebut. Dengan segera tubuh yang tertelungkup di depannya dibalikkan sehingga dapat melihat lukanya. Wajah mujahida itu ternyata tidak asing bagi Khadijah. Wajah yang sejak kecil telah dikenalinya. Wajah Fatimah adiknya yang sangat dicintainya. Air mata kakaknya menetes bercampur dengan darah di bagian dada Fatimah yang tertembak. Tangan Fatimah digenggam sambil wajahnya didekatkan ke telinga Khadijah. Jangan pernah berhenti berjuang.. Allahu Akbar.. Itulah kalimat terakhir yang diucapkan Fatimah kepada kakaknya.

Suasana yang mencekam disekitarnya seolah-olah tidak terasa. Khadijah larut dalam kesedihannya sambil mendekap tubuh adiknya yang berlumuran darah. Adiknya yang sangat ingin kuliah di kedokteran seperti dia. Suasana itu tiba-tiba berhenti saat sebuah bom meledak sekitar 20 meter dari tempatnya. Dengan berat hati Khadijah meninggalkan jenazah adiknya yang langsung dievakuasi oleh beberapa orang. Khadijah segera kembali ke kesibukannya menolong orang yang terluka. Seolah-olah kejadian tadi tidak pernah terjadi atau karena kalimat terakhir yang diucapkan adiknya, Khadijah semakin bersemangat dalam medan perang. Teriakan Allahu Akbar sesekali keluar dari mulutnya. Bukan hanya menolong, Khadijahpun terlibat langsung dalam pertempuran.

Stetoskop terkalung di leher, obat-obatan di ranselnya dan sebuah senjata AK 47 digenggam di tangan kanannya membuat Khadijah Nampak sangat berkarakter. Seorang mujahid yang sangat berani. Dengan balutan gaun putih-putih, Khadijah bergerak maju tanpa mengenal lelah. Banyak korban terluka yang segera diobati olehnya sebelum dievakuasi. Tanpa sadar, sebuah peluru bersarang di dadanya ketika Khadijah sedang membalut luka seorang mujahid. Khadijah terjatuh ke tanah, darah segar keluar dari lukanya. Terbayang olehnya adik-adiknya, orang tuanya yang telah lama meninggal, teman-temannya, gelar dokter yang tak lama lagi diperoleh. Khadijah hanya bisa tersenyum. Tersenyum mengingat dia telah memenuhi kewajibannya sebagai seorang muslim. Tersenyum bahwa dia bisa berkumpul dengan para syuhada yang telah mendahuluinya.

Khadijah akhirnya menutup usianya sebagai seorang mujahiddah. Seorang yang rela mengorbankan nyawanya demi tetap mempertahankan agamanya. Allahu Akbar Allahu Akbar.. Itulah kalimat terkahir yang dia ucapkan sebelum kemudian syahid di medan jihad.

Berita syahidnya Khadijah akhirnya sampai ke teman-temannya menjelang penyumpahan dokter, sekaligus menjawab pertanyaan ketidak hadirannya. Suasana bahagia tiba-tiba berubah. Tak ada yang menyangka bahwa Khadijah telah syahid bersama ribuan umat Islam lainnya dalam sebuah pertempuran melawan musuh-musuh Islam.